//

Chapter 7 : Pohon Keberuntungan

 



I hope everything will be happy ending. Amen.



12.00 PM


Lonceng itu berbunyi tepat di pukul dua belas siang. Lonceng yang menjadi pengingat bahwa semua hal harus terjeda saat itu. Lonceng yang menjadi hiasan manis diatas gedung bergaya arsitektur romawi. Tembok tua dengan keheningan yang selalu berhasil membuat angin berhembus dengan lembut. Ruang besar yang dipenuhi dengan kursi - kursi kayu panjang itu nampak sepi, hanya terdengar seorang penjaga tua yang sedang menyapu halaman serta sesekali suara nyanyian burung kecil. 


Aku memandang tanda suci disana. Aku menyatukan tanganku yang masih di penuhi plester untuk menutupi semua rasa trauma itu. Aku terduduk dengan lutut yang menjadi penopang. Aku mengacuhkan beberapa aturan untuk tidak membuatnya semakin parah. Aku menutup mataku. Aku menyiram pohon itu dengan hujan yang sangat deras. Hati ke hati.


Tidak ada seorangpun disana. Hanya suara lonceng serta beberapa nyanyian alam. Hujannya masih sangat deras. 


Bisakah pohon itu tumbuh sekarang, ku mohon?



Belakangan ini aku terlalu banyak membaca. Mesin itu bilang bahwa aku perlu untuk memahami diriku sendiri. Untuk tidak melukai tempat yang sekarang jadi lebih sering terasa sesak. Untuk tidak membohongi diri sendiri dan juga untuk mencintai diri ini.


Aku bercerita banyak hal pekan itu. Aku bertanya mengenai pohon keberuntungan. Semuanya berjalan cukup lambat atau memang aku yang sulit untuk memahami? Aku berusaha memberikan pupuk terbaik supaya pohon itu tumbuh dengan subur namun hari dimana aku merawatnya seseorang menghancurkan tanpa perasaan bersalah. Hari dimana aku membersihkan semuanya, hujan turun dengan sangat deras. Aku kehilangan beberapa benih yang hampir mengeluarkan tunasnya. Hari dimana tangan serta kaki ku dipenuhi lumpur kecoklatan, semua orang menatapku dengan sorot mata mengasihani. Aku membencinya. Aku benci sorot mata itu.



Masih terduduk dengan tangan yang menyatu. Aku kembali menuntut sebuah jawaban. Pohon itu… pohonnya kenapa? Kenapa harus sesulit ini hanya untuk satu buah pohon. Bagaimana dengan…


Aku terhenti. Setiap kali merasa marah logika ini selalu berantakan. Kebaikan - kebaikan lainnya bermunculan seolah sepotong film klasik dengan latar lagu menyedihkan. Seolah Ia menyentuh kepalaku dan membawa masuk ke dunia menyenangkan.


Hujan.


Maaf.


Setiap kali aku marah karena semua hal, hanya Dia yang melihat itu. Perasaan itu, sorot mata ini sekalipun dengan mata yang tertutup. 


Apa aku sangat nakal dimata Mu?



Ketika aku selesai serta merapihkan beberapa jejak supaya tidak mengundang perhatian, dari kejauhan aku melihat sepasang mata yang mengintimidasi. Aku acuh atau lebih tepatnya sudah tidak lagi memiliki minat untuk bertarung dengan sorot mata. Aku bahkan tidak mengenalnya tapi sorot mata itu. 


Bisakah untuk hari ini saja aku berhenti membaca?



175 cm.


Guman ku sambil melewatinya, sambil mengacuhkan isi hatinya.


__


If you know me 

그대여  알아본다면 


if you stay by my side 

그대  곁에 있어준다면 


I would be able to walk like this 

이대로  걸어갈  있을 텐데 


I would never fall again

다신 넘어지지 않을 텐데


If you’re with me by Sung Si-Kyung (Ost Snowdrop)


0 comments