//

Chapter 4: Lullaby (00.05)

 


Glück ist Liebe, nichts anderes. Wer lieben kann, ist glücklich.


Happiness is love, nothing else. Who can love is happy.

Hermann Hesse

...


Bahagia. Kata yang sederhana namun bermakna luar biasa. Ketika beberapa diantara mereka mungkin mencari makna kata tersebut, rasanya akan sulit menemukannya jika tempat yang di telusuri justru bukan diri sendiri. Apa kalian tahu, ada begitu banyak kejadian menakjubkan terjadi pada ku. Dimana setiap harinya aku selalu di buat kehabisan kata dengan cara semesta menciptakan senyum diwajah ku. Ketakutan, kekhawatiran bahkan kesedihan seperti telah menjadi tulisan kecil di sudut bawah buku catatan harian ku. Ah... bahkan aku lupa kapan terakhir kali melukiskan hujan di musim semi. 


“Kebahagiaan itu harus di ciptakan fris, bukan di cari”


Sekarang aku paham. Aku berdamai dengan diri sendiri, lebih tepatnya masih proses berdamai. Tidak lagi di fase memahami orang lain tapi lebih kepada memahami diri sendiri.


“Kenapa fris? Ini bukan seperti kamu ketika awal bertemu. Ada apa? Kenapa? Kenapa menjadi redup?”


“Fris. Apa kamu tahu, kami percaya pada mu. Memang awal yang berat, itu wajar. Segala sesuatu butuh proses dan adaptasi, tapi kami percaya kamu bisa. Jangan menjadi redup, tetap terang karna itu yang saya suka, cahaya ketulusan itu yang kami suka dari kamu. Jangan redup, kami disini fris”.


...


Aku berhenti membohongi diri sendiri. Aku berhenti menjadi inisiatif untuk suatu hal yang bahkan bisa membuat ku menjadi pasif. Aku berhenti mendatangi tempat dimana mungkin disana memang bukan tempat yang tepat. Maka inilah aku sekarang. Lebih banyak tersenyum karna ternyata setelah aku membuka mata ada begitu banyak mereka yang memperhatikan setiap detail kecil pada kisah ku. Mereka hadir tanpa aku sadari. Mereka tetap disana sekalipun aku tidak menoleh. Aku sadar jika orang lain saja bisa memahami ku dengan sangat baik, lantas bagaimana dengan diri ku sendiri yang selalu saja menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lainnya. Jika orang lain saja bisa menyediakan waktu untuk ku, lantas bagaimana dengan waktu yang ku habiskan dengan kejamnya untuk menyalahkan diri sendiri. Aku kagum. Kagum dengan bagaimana semesta begitu banyak menghadiahiku dengan orang - orang baik. Orang - orang yang selalu menyadarkan ku dengan ketulusan mereka terhadap kehadiran ku. Beberapa diantara mereka bahkan lebih menyukai diri ku yang sekarang, lebih banyak tersenyum serta bersinar dengan sangat indah dan juga hangat.


Hari itu aku memandang jauh kedalam diri ku, memperhatikan setiap detail dari garis yang terbentuk disana. Begitu lelah dulu, namun sekarang begitu bersemangat. Memang benar kata para filsafat, akan sangat mudah jika mencintai orang lain justru tingkat kesulitan luar biasa bukan terletak pada rumus logaritma maupun kalkulus melain pada kesempatan untuk mencintai diri sendiri.


“I also teach you to love yourself first. It has nothing to do with ego. In fact, love is such a light that the darkness of the ego cannot exist in it at all. If you love others, if your love is focused on others, you will live in darkness.”


- Osho 


Mencintai orang lain dan menaruh kebahagiaan pada orang lain adalah kehidupan tanpa cahaya didalamnya. Menjadikan kalimat egois sebagai penyelamat atas tindakan yang justru melukai diri sendiri memang sangat mudah untuk dilakukan. Tapi percayalah benar kata Osho, kehidupan akan menjadi redup ketika aku mengacuhkan diri sendiri. Aku pernah hidup dimana dulu aku menaruh sebagian cahaya ku pada objek semu, lantas setelah sinar itu dipadamkan secara paksa aku menjadi redup. Fakta yang cukup mengejutkan tidak hanya aku yang menjadi gelap, dunia sekeliling ku menjadi hitam lalu kebanyakan orang yang mencintai secara ikhlas justru kehilangan diri ku. 


Seseorang yang mudah untuk dicintai namun cukup sulit untuk di tinggali.


Mereka bilang aku adalah orang yang demikian, itu alasan kenapa ada begitu banyak orang baik yang memperlakukan ku lebih dari kata baik sekalipun baru mengenal. 


“Ini buat kamu. Jangan kasih tau yang lain, saya kasih ini cuma buat anak - anak saya aja”. 


10 detik. Aku terdiam dan memperhatikan bingkisan kecil dari seseorang yang tak ku duga sebelumnya. Seseorang yang dengan sikap dinginnya selalu saja memanggil nama ku selama sebulan lebih. Menatapku dengan tatapan berbeda dan terus memperhatikan ketika tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Seseorang yang dulu selalu ku hindari tapi saat ini menjadi orang yang sangat peduli. Entahlah, aku bahkan tidak berpikir bahwa beliau akan bertindak sejauh ini. Usia ku baru saja 3 bulan disana, tapi rasanya sangat hangat. Tidak hanya itu, bahkan ketika aku berusaha setenang mungkin pada situasi yang sepatutnya tidak untuk menjadi tenang justru ada saja candaan tulus dari seseorang yang selalu mengkhawatirkan setiap kali aku terlalu fokus terhadap layar monitor berbentuk persegi itu. Candaan yang membuat kami dekat. Lalu berikutnya gadis kecil yang penuh keceriaan yang selalu mengajak ku bercerita setiap kali aku terlalu serius terhadap dunia yang sebenarnya bisa untuk sedikit diajak bergurau walau 30 menit. Memainkan kursi berwarna biru tempat ku duduk sambil sesekali menanyakan pertanyaan yang menurut ku lucu.


Konsep yang sangat menarik yakni keadaan menjadi baik ketika aku pun mulai bersikap baik dengan diri ku sendiri. Keadaan menjadi indah ketika aku juga melakukan hal yang indah terhadap segala hal yang sudah dilakukan diri ku. Lalu keadaan menjadi sangat menakjubkan ketika tidak hanya orang lain yang bisa memahami dan menerima ku tapi jauh daripada itu, bahwa aku sendiri pun bisa melihat kedalam hati tempat dimana cahaya itu bersinar dengan hangat. Tidak hanya Osho, aku juga mulai bisa memaknai setiap kata yang ia tulis. Menjadi diri sendiri,  mencintai pribadi dengan setulus hati dan terakhir bersinar dengan hangat tanpa harus melalui orang lain. 




14 May 2021

- FKN

0 comments