//

Chapter 10 : Zero O’clock

 


Itu kenapa aku selalu tertarik dengan film berlatarbelakang kegelapan. Tenang seolah tidak peduli, namun mengintai dengan sangat teliti. Berjalan bersama bayangan berwarna gelap, setelahnya berlari ketika menjadi khawatir. 


Ketika hitam dan putih bertemu. Ketika musim dingin tidak lagi membeku pada bulan april. 


“Bukankah takdir sedang berpihak?”


Atau…


Kita yang sedang dipermainkan (lagi)?



Terhenti.


Ini kotak kelima setelah beberapa pijakan. 


Zebra cross.


Hitam dan putih. Hal menarik yang selalu membuat aku tertarik untuk bermain. Angin berhembus dengan sangat menyejukan. Petang itu aku bertemu dengan seorang rekan. Panggilan darurat yang tidak pernah bisa aku tolak dan juga kebetulan aku butuh seseorang untuk mendengarkan sebuah cerita. Dunia mulai tampak membosankan belakangan ini, apalagi setelah aku memutuskan untuk tidak ingin terlibat dengan perasaan apapun. 


Meja 57

*Sending photo*


Beberapa langkah lagi aku sampai disana. Teman yang selalu punya tempat menarik untuk sekedar mengusir penat. Live music serta satu dua orang yang lalu lalang. 


Rekan yang juga selalu punya tempat terbaik untuk sekedar mendengarkannya bercerita. Aku pernah bergurau padanya kalau udara segar lebih baik dibanding ruangan tertutup. Rasanya seperti tercekik.


“Sekarang udah jago bikin tabel warna - warni ceritanya”


“…”


Kami duduk saling berhadapan. Teman lama yang selalu menyenangkan. Energi yang tidak terlalu berlebihan dan isi hati yang cukup netral untuk dibaca. 


Selalu saja topik pembicaraan aneh yang menjadi hal pertama sebelum mendengar alur cerita menenggangkan miliknya.


Dia menunjukan sebuah gambar sambil sedikit mengintimidasi dengan tatapan dinginnya.


“Oh itu. Itu collaboration kok. Udah pesen makan?”

“Iya juga, mana mungkin cewe bisa bikin kaya beginian”

“Udah emansipasi nanti kartini nangis dengernya”

“Udah nonton ini belum?”

“Udah pesen makan belum?” 

“Kaya biasa kan? Udah gua pesen kok. Karna gua tau perjalanan elu jauh makanya gua pesenin duluan”

“Hmm… ok”

“Jadi?”


Aku menatapnya. Sejak pulang ke ibukota, warnanya mulai berubah. Tidak lagi gelap tapi menyebalkan.


“Nasi goreng spesial?”

“Bukan itu”

“Bukannya kita lagi ngomongin makanan?”

“Gua pikir kwetiau goreng. Beneran nasi goreng? Tapi dulu elu sering pesennya kwetiau goreng kok”

“Yaudah apa aja gapapa”

“Jadi?”

“Apalagii”

“Akhirnya lu fokus kesini juga. Butuh effort banget buat dapetin attention lu dari jaman sekolah dulu. Berubah kek ga bosen apa begitu mulu”


Aku hanya menarik nafas. Memandang sekitar sambil menikmati hembusan angin. Seorang pria sedang memasang beberapa ikatan berwarna hijau pada benda yang akan melantunkan alunan musik, setidaknya suara itu bisa menenggelamkan sosok di depanku saat ini.


“Rambutnya udah kepanjangan tuh”

“Iya nanti mau di potong cepak”

“HAHAHAHA. Ayo sekarang gua temenin, cepetan”


Aku kembali memperhatikan pria yang sekarang sedang mencoba mencari nada yang dirasa cukup.


“Gua juga bisa kok main gitar. Mau liat?”

“Gausah bikin malu”

“Asal lu tau pas gua kuliah dulu, banyak cewe yang langsung follow gua. Cewe bule juga ada, ada cewe korea juga”

“Sstt”

“Tampol nih?”

“Hahahaha”


Itu kenapa aku selalu menyukai pertemanan ini. Jarang sekali aku mempercayai seseorang. Apalagi setelah beberapa kejadian yang cukup membuat ruang yang cukup pekat. 


Ekstrovert. Aku tidak perlu banyak bercerita dan salah satu bentuk healing terbaik adalah mendengarkan cerita dari seseorang. Namun akhir - akhirnya cerita yang datang kebanyakan alur yang menyedihkan, dimana setelah mendengarnya aku benar - benar di buat kehabisan tenaga. Aku bahkan pernah sepekan menghindari beberapa orang untuk bercerita itu karna sebuah alur cerita pahit yang rasanya sangat menusuk padahal aku tidak melihatnya secara langsung. 


Seorang ekstrovet adalah karakter yang menonjol didunia ini. Jadi aku butuh tokoh seperti mereka supaya aku tenggelam dan tidak terlalu di lihat banyak orang. Supaya aku tidak perlu kelelahan untuk memulai percakapan atau sekedar berdiri ditengah kerumunan dengan canggung tanpa melakukan apapun. 



“Ngantuk?”


Aku mengangguk sambil menatap layar ponsel.


“Jam setengah 10. Waktunya anak bayi tidur”


Aku mengacuhkan candaan itu lantaran aku sudah tidak punya tenaga untuk menanggapi.


“Gimana biar ga ngantuk, gantian nyetir?”

“Yaudah sini”

“Gausah aneh - aneh gua masih mau hidup”

“…”

“Fris?”

“Hmm?”

“Gapapa”


Alasan kami bisa berteman baik, itu karna warna miliknya terlihat terang namun nyatanya berwarna hitam. Setiap kali aku menatapnya, ada labirin kecil yang ia sembunyikan. Sama seperti ku.


Alasan lain karna ia tidak terlalu banyak menuntut. Aku pernah tanpa sengaja memperlihatkan hujan disana. Saat itu ia hanya menatapku. Kemudian meneguk segelas soda sambil tersenyum mengejek tanpa mengatakan apapun. 


Saat dunia kami bertemu. Saat hitam dan putih saling berhadapan, rasanya cukup menegangkan. Aku dengar ada banyak yang mengangguminya, jadi aneh saja jika ia masih memilih kami sebagai teman. 


Cerita lama yang tidak banyak orang lain tau. Ketika kebanyakan orang akan melakukannya untuk ku, hanya dia yang memaksaku melakukannya. Ketika kebanyakan orang bertanya pada ku, hanya ia yang terus bercerita tanpa rasa penasaran apapun. Itulah alasan mengapa pertemanan ini sangat menyenangkan. Tidak ada hal yang berlebihan. Tanpa perasaan apapun supaya jika pertemanan ini menghilang sewaktu - waktu, aku tidak perlu seperti orang normal kebanyakan. 



00.00 A.M.


“Udah tengah malam”


Teman baik.




0 comments