Bersyukur, harusnya gitu fris.
"Halo, friska?"
"Oh iya bu?"
"Kemana? sakit?"
"Ah, habis dari toilet bu?
kenapa bu?"
"Ini untuk laporan kemaren
sudah selesai? terus laporan berikutnya progressnya gimana? Oiya katanya divisi
sebelah mau minta pengajuan dana tolong diperiksa dulu reportnya ya fris. oh
satu lagi....."
...
Satu lagi. Kupikir benar - benar
"satu lagi" nyata ada banyak runtutan kata lain yang menjadi kawan
dari kata "satu lagi" itu. Matahari bahkan belum terik lantas
bagaimana bisa raga ini diminta bergerak sangat cepat. Belum lagi semalam,
rasanya seperti melakukan perang saja, tapi anehnya perang tanpa lawan bahkan
senjata seperti kebanyakan terkisah di buku prasejarah atau film kolonial. Entalah sejak work from home
rasanya seperti tidak mengenal waktu. Ah... bahkan raga ini lupa kapan terakhir
kali melihat detik itu berpindah "12 malam? atau 2 pagi? harus selesai
pokoknya". Belum lagi tiap kali kata itu muncul.
"Fris"
"Mbak friska"
Rasanya ingin mengubah nama atau
paling - paling menjadikan lupa sebagai kiasa manis yang nyatanya kadang
menjadi boomerang tragis. Aku bahkan ingat betul bagaimana tiap lembaran kertas
itu duduk manis di atas sana, layaknya seorang tamu yang sedang menunggu
tuannya atau seperti pelecut yang seolah - olah bergerak jikalau raga ini mulai
diam walau sejenak. Aku iri melihat bagaimana orang
lain bisa pulang tepat waktu, bahkan sebelum menunjukan waktunya pun mereka
sudah duduk manis didepan benda kramat yang selalu mengucapkan kata "selamat
tinggal itu". Ada kalanya aku dibuat penasaran dengan apa saja yang mereka
lakukan. Bukan menuduh, hanya saja sepertinya akulah yang terlalu lambat bergerak,
itu isi kepala ini tiap kali melihat lembar kertas warna - warni itu. Belum lagi benda - benda yang
suaranya seperti kicauan burung dipagi hari. Hahaha. Mesin - mesin itu, mereka
kerap kali menjahili ku, ketika aku meminta untuk bekerja sama. Aku ingat
bagaimana mereka mampu membuat ku menjadi tersangka atau bahkan pemeran utama
di hari menyebalkan kemarin, bpadahal saat itu aku belum mengenal mereka betul - betul.
Dan lagi, akhir - akhir ini
banyak sekali kalimat menyayat hati yang sering ku dengar, lantaran aku
bergerak terlalu lambat (katanya) atau karna kurangnya pengalaman. Seharusnya
diajarkan, iya kan? Bukannya memperagakan cerita bawang merah dan bawang putih
disetiap detiknya.
Internet, seperti seorang sahabat. Belakangan ini
justru seorang sahabat itu yang membantu ku tatkala aku hilang arah atau tidak
tahu harus berbuat apa. Memang semua tidak semudah setiap
kata yang tertera, hanya saja setidaknya aku punya gambaran. Namun jika tak paham,
biasanya aku juga lebih sering menghubungi teman, tak apa dibilang bodoh
setidaknya albert einten lahir tak langsung jadi ilmuan hebat, bukan?
Untuk hiburan?
Sesekali mereka
menghibur ketika raga dan pikiran ini sangat lelah bahkan rasanya ingin sekali
berenang dan menenangkan diri di kolam besar dengan air yang berada tepat
dipunggung ini. Kadang aku juga dibuat tertawa oleh "mereka", memang
bukan tertawa yang tulus keluar dari hati, tapi tak apa kan menertawakan
kecerobohan orang lain di layar ponsel atau menertawakan kalimat lucu yang
sering muncul di layar pemberitahuan. Terkadang... jika benar - benar lelah tanpa sadar
ibu jari ini bergerak agresif, menengekspresikan setiap rasa penat yang sering
terpendam dan meminta untuk berhenti sejenak. Tetapi lagi - lagi kertas itu
membuat segala tawa di wajah ini memudar perlahan lalu pikiran seorang "dewasa"
kembali berkeliaran.
Angka di petunjuk hari itu saja
sudah berwarna merah, sejak kecil seharusnya
warna itulah yang paling senang ku jadi alasan untuk bermalasan. Terang
saja, Enam hari menimba ilmu belum lagi harus ada pertemuan kelompok yang harus
dilakukan, terasa cukup melelahkan. Jadi sesekali bermalasan wajar kan? Tapi sepertinya sejak menginjakan
kaki diusia dewasa, aku justru jarang sekali menemukan kata bermalas - malasan
di jadwal harian ku. Entahlah dulu ku pikir hidup tidak seserius ini.
Percayalah... apa sih yang ada di isi kepala anak usia belasan kala itu? Jadi
ketika semesta meminta untuk menjadi dewasa kadang cukup menyebalkan. Belum
lagi melihat orang - orang itu yang kian hari raganya kian melemah. Dua orang
penting yang menjadi alasan mengapa harus sampai pada titik terbaik. Dua orang
penting yang selalu berhasil menyingkarkan sikap egostis dalam diri ini dan
berubah menjadi lebih serius tiap kali rasa ingin menyerah menyerang. Rasanya
ingin sekali menyampaian puluhan kata yang selalu jadi penghuni tetap disana belum lagi harga diri konyol yang terlalu tinggi itu, kerap menjadi alasan tepat yang masuk akal bagi diri ini.
"Bu, Pak sabar ya anak mu
sedang menjalani proses".
"Bu, Pak tak apa kan sedikit
memakan waktu?"
"Bu, pak jika semuanya sudah
diraih, aku janji bahkan hal - hal semahal apapun jika memang itu menyenangkan
hati kalian, akan aku berikan asalkan tetaplah berada disisi anak mu yang nakal
ini. Tetaplah duduk dan tidak perlu banyak mencemaskan. Tetaplah bersuara
lantang namun dengan perhatian didalamnya (aku tahu itu, sangat amat
tahu)".
"Dan tetaplah memperlakukan
ku seperti bayi kecil yang kadang sejujurnya aku membutuhkan itu sebagai
penyemangat. Hanya dengan kalian aku berani berlaku seperti itu. Berlaku
layaknya bayi kecil yang lemah. Hanya dengan kalian aku bisa memperlihatkan
itu. Memperlihatkan rasa lelah dan amarah. Sejujurnya aku bukan marah dengan
kalian, tapi aku marah dengan diri ini yang selalu saja menyusahkan kalian
bahkan di detik - detik memprihatinkan sekalipun, hanya saja sepertinya aku terlalu jual
mahal bahkan untuk sekedar mengucapkan "terima kasih".
"Bu, Pak menjadi dewasa itu
berat ya, tapi bayi kecil kalian ini akan berjuang sekalipun itu kerap kali
membuat kalian khawatir di kejauhan".
...
Detik berikut aku berpikir,
setidaknya aku masih bisa bekerja.
Tak apa walau masih menerima
perintah, setidaknya aku punya kesibukan untuk meniti masa depan di benak ini. Memang semuanya masih sejauh
angan, tapi aku akan menikmati setiap prosesnya. Aku akan menunggu sampai
dengan waktu itu tiba. Aku akan menjalaninya dengan pikiran yang logis dan
kedewasaan. Semesta harusnya dengar suara dibenak ini tiap kali aku
mengejeknya. Bukan bahan ejekan yang terlalu berat memang, hanya
menyenangkan saja bisa memenangkan perang dengan batin yang kerap kali bersikap
kekanak - kanakan ini. Tapi jikalau boleh jujur semesta terkadang juga membantu
ku belajar, tentang bagaimana menjadi dewasa di waktu yang bahkan tidak ku duga
- duga sebelumnya. Aku memang sering menyalahkannya untuk tindakan bodoh ku,
tapi diusia yang tidak lagi muda rasa - rasanya aneh saja sering mencari alibi
lain untuk berseturu dengan batin sendiri.
Dimasa pandemi ini seharusnya aku
lebih banyak berbenah dan mulai memikirkan apa saja yang orang dewasa lakukan. Belum lagi tiap kali mendengar
berita itu, lihat bagaimana bisa sebuah titik kecil yang bahkan ukurannya tidak
lebih dari sebutir pasir dipantai, dapat membuat kekacauan besar. Aku melihat
betapa menyeramkan informasi yang terjadi dari hari ke hari, dimana ribuan
bahkan puluhan ribu orang yang terpaksa berhenti dari tempat dimana mereka
mempertaruhkan masa depannya disana. Informasi yang kerap kali membuat batin
ini selalu saja ingin mengucap rasa syukur jikalau pikiran jahat lainnya kerap
muncul. Ada banyak ribuan orang - orang
lemah lainnya yang perlu bertahan hidup belum lagi ada jutaan gerai yang harus
tutup.
Seharusnya aku bersyukur akan apa
yang aku punya saat ini. Seharusnya tidak banyak mengeluh akan keadaan yang
bahkan tidak benar - benar baik saat ini. Jadi tak apa meski harus menerima
perintah dengan cara yang kadang cukup membuat rasa sabar ini tertantang untuk
di ungkapkan, "orang dewasa harus
banyak bersabar, fris!". Tak apa saat ini menerima sedikit imbalan,
setidaknya pengalaman akan menjadi harga yang mahal dimasa depan. Dan lagi
seharusnya bersyukur aku tidak terkena dampak yang bahkan membayangkannya saja
sudah membuat ku mampu memejamkan mata dengan ketakutan.
Bersyukur semesta masih memihak.
Bersyukur semesta masih
memberikan kesempatan untuk melalui proses ini dengan kondisi yang bahkan luar
biasa baik dan tanpa kekurangan satu pun dalam hidup.
Bersyukur semesta hanya
mengijinkan ku menjadi penonton dan bukan sebagai pemeran.
Entahlah semenjak menginjakan
kaki di usia dewasa ini rasanya aku malah semakin sering berbicara dengan
semesta. Mengatakan apa memang serumit ini menjadi dewasa atau hanya karna
memang sedang ada masalah dengan dunia ini saja, makanya segala ini terlihat
sedikit menegangkan. Belum lagi cara dunia ini bekerja. Bukan hanya bekerja,
tapi juga terkadang dunia ini terlalu keras untuk menuntut.
Jadi,...
Apa hidup memang seserius ini?
Entahlah.
Setidaknya,..
Bersyukur. Harusnya gitu fris.
13 June 2020,
-FN
0 comments