//

Epilog tanpa kalimat penutup

 


Jika saja sebuah kalimat yang tepat bisa dipilih secara acak, aku tidak akan pernah memilih kalimat “selamat tinggal.” Dan jika sebuah pertemuan akan berakhir dengan kata perpisahaan maka itu cukup membuat ku merasa sesak setiap kali membayangkannya. Kebanyakan dari pernyataan tersebut lebih sering ku bungkus dengan sebuah perbuatan, yang mungkin banyak dari mereka yang tidak akan menyadarinya bahwa itu adalah cara ku menyampaikan selamat tinggal. Bukan tidak ingin menciptakan suatu memori terakhir, hanya saja kebanyakan sebuah akhir dari pertemuan akan menyakiti atau membebani pihak lain. Maka dari itu, aku lebih suka melakukan hal - hal yang memang aku buat sengaja demikian.


Rasanya cukup lelah memikirkan agar segala sesuatunya tetap tenang namun terencana secara matang. Aku lebih menyukai menciptakan sebuah kenangan dibandingkan dengan menyampaikan kalimat perpisahan. Meskipun kebanyakan dari mereka mungkin memang sudah berpengalaman dengan hal ini, tapi bagi ku setiap pertemuan dan akhir dari cerita memiliki kisahnya masing - masing. Tingkat emosinal yang terbentuk dari sebuah pertemuan dari masing - masing kisah bahkan mempunyai harapan dan ilusi tersendiri bagi ku. Lantas dengan alasan tersebut, akan ada banyak rasa berat dan sesak yang melingkupi dada setiap kali dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit bernama perpisahaan. Aku tidak bisa melihat sebuah ekspresi kesedihan dari orang lain, dan aku juga tidak sanggup menyaksikan ekspetasi ku bahkan tidak sesuai dengan harapan dibenak ini. Maka aku lebih suka segalanya tersusun secara rahasia, tidak ada jejak dan tidak menimbulkan luka bagi siapapun jika memang mereka juga merasa demikian.


Perbuatan - perbuatan yang mungkin banyak diantara mereka berpendapatan “hanya sebagai sebuah kebaikan sesaat atau kebaikan yang dibuat - buat untuk alasan tertentu”, bagi ku tak apa, aku tidak terlalu menggubris hal - hal tersebut. Aku hanya ingin fokus dan perhatian yang ku lakukan cukup menimbulkan hal baik bagi sebagian di antara mereka. Aku ingin setiap perbuatan melahirkan sebuah senyuman bukan tangisan. Aku ingin menyimpan senyuman itu di memori kecil kepala ku dan memuji diri ini betapa hebatnya mampu membuat orang lain tersenyum disaat raga dan isi kepala lainnya sedang mempersiapkan sebuah perpisahaan yang bahkan aku dibuat sesak setiap tidak ada seorang pun yang memperhatikan. 


Sejujurnya cukup berat bagi ku untuk terlihat tenang disaat ada saja hal - hal tidak menyenangkan menjadi hiasan manis dalam proses pembuatan “misi kecil” ku. Tapi aku tidak ingin terlalu larut dengan hal - hal demikian, sebuah tulisan bijak mengajari ku bahwa “seseorang akan cenderung memuji ketika mereka sedang berbahagia dan sebaliknya seseorang akan cenderung membenci ketika mereka sedang dihadapkan dengan banyak masalah.”Dan kabar baiknya,sejauh ini aku masih bisa memaklumi cara kerja emosional mereka dengan tetap meredam emosional miliku yang anehnya bergejolak hebat didada saat itu. Plegmatis.


Kembali pada “misi kecil”. Aku kurang menyukai sebuah perayaan perpisahaan, karna kebanyakan dari perayaan hanya berlangsung sehari, atau bahkan setengah hari senangnya. Sisanya cenderung melupakan, menghilang dan bahkan kenangan manis terlupakan dengan hadirnya kisah baru. Jika kebanyakan diantara mereka beralasan tidak baik terlalu larut dalam mengenang seseorang, lantas apa mereka pernah sekali saja dalam hidup ini memikirkan bagaimana orang yang mereka jadikan alasan itu, entah saat ini atau kelak merasa rindu? Namun lantaran terhalang harga diri banyak diantara orang yang merindu cenderung hanya menjadi penonton rutin sebuah kisah yang tersiar dingin di jejaring media sosial yang cukup menyulitkan ditengah situasi saat ini. Dengan alasan itu juga aku tidak suka berekspetasi dari sebuah perayaan perpisahan. Aku lebih menyukai merasa baik - baik saja namun secara perlahan setelah semua misi kecil rahasia ku sudah terselesaikan. Cukup egois memang, tapi tak apa, aku hanya tidak ingin melukai diri ku lebih jauh lagi, aku tidak ingin menjadi terlalu ekspresif terhadap hal - hal yang sebetulnya aku tahu semua itu hanya berujung dengan ilusi. Aku tidak ingin lagi berpura - pura acuh setiap kali merindu. Dan aku tidak ingin membenci karena... karena kisah yang lagi - lagi berujung pada sebuah fantasi.


Perpisahan. Bahkan ketika menulisnya saja aku sudah dibuat murung, belum lagi dengan rincian hal yang harus ku lakukan di sisa - sisa kesempatan yang ku punya. Pepohon dan awan, burung serta suara kendaraan lalu lalang, mereka selalu menjadi saksi setiap kali aku merasa lelah dengan segala persiapan ini. Belum lagi, beberapa kisah yang harus ku selesaikan dengan alasan menjaga nama baik dan kesepakatan - kesepakatan kecil yang ku buat dengan dia yang ku percaya. Tentang sebuah permintaan, aku hanya meminta untuk tidak banyak atau bahkan tidak ada yang mendengar sekalipun dengan mereka yang setiap harinya selalu berada didekat ku. Aku hanya meminta untuk diberi kesempatan berbenah disaat segala sesuatu benar - benar siap, tanpa adanya sebuah perayaan tentunya. Dan jika kelak mereka tak lagi dapat menemukan ku, itu bukan karna aku tidak menghargai mereka yang menjadi bagian dalam kisah lama ku, itu lebih kepada, aku ingin menulis kisah baru pada setiap lembaran buku yang baru pula. Tanpa ada prolog kesedihan di halaman pertama buku kehidupan baru. Dan tanpa kalimat penutup pada kisah perpisahan ini.


 Ajikdo ulgo issjanha

(Don't let me cry)

Yeogiseo gidarijanha.

Gaseumi jichidorok

Don't say goodbye

Nae gyeote dorawa

Eonjerado chajawa 


Once Again by Kim Na-young and Mad Clown


13 Sep 2020,

-FN

0 comments